Meskipun sampah plastik sering dikumpulkan dan dibuang di pantai-pantai Eropa, situasinya sangat berbeda di belahan dunia lain. Di sini, pembuangan sampah tidak terlalu ketat dan plastik terkadang berakhir di pantai. Di beberapa pantai, sampah disimpan di sana selama beberapa bulan hingga bertahun-tahun. Menurut tim peneliti Jerman-Indonesia, sampah plastik sering dibakar di pantai. Bentuk sampah plastik baru kemudian tercipta: plastiglomerate. Ini terdiri dari bahan-bahan alami, seperti pecahan karang, yang disatukan oleh plastik cair dan kemudian mengeras. Oleh karena itu, plastiglomerat terlihat seperti sejenis batuan buatan.
Sampah plastik menimbulkan ancaman bagi lingkungan dan manusia
Tim peneliti dari Kiel, Indonesia mencermati sampah plastik khusus ini. Dia segera memperingatkan: Plastik cair terurai lebih cepat menjadi partikel mikroplastik dan juga terkontaminasi polutan organik. Hal ini merupakan ancaman besar bagi ekosistem pesisir seperti padang lamun, hutan bakau, dan terumbu karang. Studi ini untuk pertama kalinya menunjukkan bahwa plastiglomerate berbeda dari sampah plastik lainnya, jelas penulis pertama Amanda Utami dari organisasi ilmiah terbesar di Indonesia, BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional). Kini para peneliti dapat membuat pernyataan yang lebih baik tentang dampaknya terhadap lingkungan.
Namun mengapa plastiglomerase terdegradasi lebih cepat? Jika sampah plastik dibakar, proses peleburan akan menyerang rantai karbon pada bahan tersebut, menurut para peneliti. “Plastik yang terdegradasi secara kimia” ini lebih cepat terurai menjadi partikel plastik kecil ketika terkena angin, ombak, atau butiran pasir. Selain itu, proses pembakaran tidak sempurna melepaskan polutan berbahaya bagi lingkungan yang secara bertahap dilepaskan ke lingkungan. Zat-zat ini juga kemungkinan besar akan memasuki rantai makanan dan diperkaya, menurut tim peneliti.
Namun oksidasi termal akibat pembakaran sampah plastik juga mengubah struktur internal material secara signifikan.
Sampel dari Pantai Jawa di laboratorium di Kiel
Peneliti Indonesia Utami mengumpulkan total 25 sampel lapangan dari pantai di Pulau Panjang di sisi barat pulau Jawa, Indonesia. Dia kemudian menganalisisnya di laboratorium bersama rekan-rekan Jermannya di Kiel. Untuk melakukan hal ini, pertama-tama mereka membedakan sampel berdasarkan kriteria visual menjadi sampel yang lebih sedikit meleleh atau sampel yang lebih banyak meleleh atau terbakar, dan kemudian mengekstraksi kontaminan yang mudah menguap menggunakan pelarut.
Ternyata, kata Lars Reuning dari Christian Albrechts University di Kiel, polutan yang dikeluarkan oleh plastiglummer dapat diklasifikasikan sebagai berpotensi karsinogenik bagi manusia. Secara khusus, kontaminasi ditemukan pada hidrokarbon aromatik polisiklik dan ftalat, yang digunakan sebagai bahan pemlastis untuk plastik. Menurut pendapat para ahli saat ini, kedua zat tersebut berpotensi tinggi menyebabkan kanker.
Peneliti: Lebih sedikit sampah di pantai!
Para peneliti menyimpulkan bahwa plastiglomerase merupakan masalah besar. Mereka percaya bahwa banyak ekosistem pesisir di perairan tropis Indonesia dan seluruh dunia akan terkena dampaknya di masa depan. Penelitian telah menunjukkan bahwa polutan organik juga dapat berpindah ke terumbu karang atau organisme laut lainnya sehingga dapat berdampak negatif pada kesehatan laut. Karena itulah mereka ingin terus meneliti keadaan ekosistem laut lainnya seperti padang lamun atau mangrove.
Peneliti Indonesia, Utami, yakin bahwa ada kebutuhan yang jelas untuk mengambil tindakan. Dibandingkan dengan sampah plastik biasa, sifat khusus dari plastiglummer juga memerlukan bentuk pengelolaan pesisir yang khusus. “Jika sampah perkotaan di pantai tropis dibuang dan dikelola dengan lebih baik, masalah serius dapat dicegah,” peneliti menyimpulkan.
“Penggemar twitter yang bangga. Introvert. Pecandu alkohol hardcore. Spesialis makanan seumur hidup. Ahli internet.”
More Stories
Wanita kaya merangsang pariwisata kesehatan
Hari pertama Piala Dunia di Singapura dibatalkan karena buruknya udara
Asap mematikan menyelimuti Indonesia – DW – 28 Oktober 2015