Laporan tahunan SETARA Institute dengan jelas menyatakan: Tidak ada daerah di Indonesia yang memiliki budaya intoleransi seperti provinsi Aceh di ujung barat laut Pulau Sumatera. Dari 94 kota yang disurvei oleh organisasi tersebut, Aceh menempati peringkat terendah dalam hal toleransi beragama.
Pemeringkatan bertajuk “Tolerant Cities Index 2023” ini mengukur tingkat toleransi dan toleransi berdasarkan hukum setempat, norma sosial, kebijakan pemerintah, dan kondisi sosial keagamaan. Indeks yang pertama kali diterbitkan pada tahun 2006 ini juga mengkaji potensi pelanggaran kebebasan beragama. Laporan ini juga mengkaji apakah pemerintah daerah melakukan upaya yang memadai untuk menjaga kerukunan dan keberagaman umat beragama serta kohesi sosial.
Kesimpulan dari laporan saat ini sangat menyedihkan bagi Aceh: menurut laporan tersebut, tiga kota di provinsi tersebut – Loksoomawe, Sabang dan ibu kota provinsi Banda Aceh – termasuk di antara tempat-tempat yang paling tidak toleran di negara Asia Tenggara ini. Halili Hasan, Direktur Eksekutif SETARA, mengatakan salah satu alasan utama terjadinya hal ini adalah kurangnya komitmen pemerintah dalam mendorong toleransi.
“Kondisi seperti ini telah menyebabkan diskriminasi terhadap agama, etnis, dan seksual minoritas. Kebijakan seperti itu menumbuhkan intoleransi. Ini adalah masalah yang mengakar,” kata Hasan kepada DW. Ini bukan pertama kalinya SETARA Institute menempatkan Aceh pada peringkat terbawah.
Peran Syariah
Provinsi berpenduduk sekitar 5,4 juta orang ini jelas konservatif. Ini adalah satu-satunya wilayah di negara ini yang menerapkan syariah berdasarkan hukum Islam. Sejak diperkenalkan pada tahun 2006, pemerintah pusat di Jakarta mencoba untuk menghentikan upaya kemerdekaan daerah tersebut. Dia juga ingin mencegah potensi pemberontakan dengan cara ini. Namun, sejak itu, rezim yang lebih konservatif berkuasa di provinsi tersebut.
Menurut KUHP Islam Aceh, hubungan seks di luar nikah dan hubungan seksual sesama jenis dilarang. Pelanggaran dapat mengakibatkan hukuman penjara, denda dan cambuk di depan umum. Undang-undang tersebut juga melarang perjudian dan konsumsi alkohol. Jilbab wajib bagi wanita.
Tahun lalu, pemerintah provinsi memperketat aturan segregasi gender, melarang laki-laki dan perempuan yang tidak memiliki hubungan keluarga untuk berkumpul di depan umum atau bahkan duduk bersama di dalam kendaraan. Pasukan polisi Syariah, yang beroperasi secara terpisah dari pasukan polisi reguler, bertujuan untuk memastikan kepatuhan terhadap peraturan ini.
Selain itu, norma-norma negara dan sosial berpihak pada umat Islam namun mendiskriminasi agama minoritas, menurut laporan SETARA. Laporan tersebut juga menunjukkan semakin ketatnya pembatasan pakaian keagamaan di sekolah dan kantor pemerintah. Ia juga melihat meningkatnya tekanan pada masyarakat untuk mengikuti ritual keagamaan. Selain itu, selama bulan puasa Ramadhan, aktivitas perekonomian sangat terganggu. “Tindakan seperti itu tidak kondusif untuk menciptakan budaya toleransi,” kata laporan itu.
Perspektif masyarakat lokal
Sabang, sebuah kota di Pulau Weh di bagian barat negara ini, berjarak sekitar 30 menit dengan perahu dari Banda Aceh, ibu kota Aceh. Perekonomian wilayah ini didasarkan pada pertanian dan perikanan. Ini juga menarik wisatawan dari banyak negara seperti Malaysia, Australia dan Jerman. Mereka datang ke wilayah tersebut untuk belajar tentang fauna dan flora, melakukan olahraga air dan menikmati masakan lokal.
Ichan, yang seperti kebanyakan orang Indonesia hanya memiliki satu nama, bekerja di agen perjalanan lokal. Ia mengatakan kepada DW bahwa industri pariwisata di Sabang perlahan pulih dari pandemi Covid-19. Ia membantah pemberitaan bahwa Sabang adalah salah satu tempat paling intoleran di Indonesia. “Prinsipnya kami tidak membatasi pengunjung yang ingin datang ke sini dan menikmati alam. Namun di sini ada peraturan daerahnya, seperti di Lombok atau Bali,” ujarnya merujuk pada pulau-pulau lain di Indonesia.
Sophian Adam, tokoh masyarakat kota, melihat hal yang sama. “Masyarakat kami sangat beragam bahkan sebelum adanya penjajahan Belanda. Kami sangat toleran di sini. Terbukti dengan hadirnya tempat ibadah semua agama,” ujarnya. Ada juga adat dan budaya yang berbeda. “Itulah mengapa aneh rasanya mengatakan kami tidak toleran.” Lebih lanjut, Adam mengatakan syariah hanya berlaku bagi umat Islam yang tinggal di Aceh, namun tidak berlaku bagi pemeluk agama lain.
Pendapat serupa juga dimiliki oleh Pendeta Gerard yang memimpin salah satu dari sedikit gereja Kristen di Sabang. Saat dipindahkan ke Aceh, awalnya dia khawatir, katanya kepada DW. “Tetapi karena saya sudah berada di sini dan mengenal langsung masyarakat dan daerahnya, saya harus mengatakan bahwa masyarakat di Sabang sangat toleran.” Ada kalanya umat Islam dan Kristen saling mengundang untuk merayakan Paskah dan Ramadhan.
Diadaptasi dari bahasa Inggris oleh Kersten Knipp.
“Ahli web. Pemikir Wannabe. Pembaca. Penginjil perjalanan lepas. Penggemar budaya pop. Sarjana musik bersertifikat.”
More Stories
The Essential Guide to Limit Switches: How They Work and Why They Matter
Kemiskinan telah diberantas melalui pariwisata
Beberapa minggu sebelum pembukaan: Indonesia berganti kepala ibu kota baru