Dengan adegan-adegannya yang mengejutkan, sebuah film baru tentang penindasan terhadap perempuan dalam Islam menimbulkan kontroversi di Indonesia: “Perempuan Berkalung Sorban”.
Dengan adegan pemerkosaan dan pelecehan yang mengerikan serta seruan untuk kesetaraan, sebuah film baru tentang penindasan terhadap perempuan dalam Islam memicu kontroversi di Indonesia. “Perempuan Berkalung Sorban” karya sutradara Indonesia Hanung Bramantyo adalah film terbaru tentang Islam yang bangkit dari kebangkitan sinema di Indonesia, negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia.
Perempuan Berkalung Zorban bertujuan untuk memicu perdebatan internal yang sulit di kalangan umat Islam tentang bagaimana perempuan harus diperlakukan. Film tersebut mengisahkan tentang pemberontakan Anisa, putri seorang pemimpin sebuah pesantren di Jawa yang keras kepala dan cerdas. Anisa ingin kuliah, tapi ayahnya memaksanya menikah dengan anak orang beriman lain, memukuli dan memperkosanya, kemudian menghamili wanita lain dan menikahinya lagi.
Sutradara Bramantyu menjelaskan, ini bukan kritik terhadap Islam, melainkan budaya patriarki di banyak pesantren dan masjid di tanah air. “Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan untuk menjadi pasangan, dan mereka setara,” kata Bramantio. “Namun seiring berjalannya waktu, pemahaman ini disalahgunakan dan disalahartikan secara kultural dan sosial, hingga laki-laki menjadi lebih unggul. Saat ini banyak terjadi pergeseran antara Islam dan budaya (patriarkal).”
Komentar tentang film ini ada dua. Ali Mustafa Yacob, Imam Besar, sapaan akrab Imam Masjid Agung Istiqlal Jakarta, mengatakan film tersebut sebaiknya dilarang tayang di bioskop. Yacoub berkata: “Film ini menggambarkan citra buruk Islam.” Dia menjelaskan bahwa “Islam tidak melarang perempuan untuk pergi keluar dan belajar, berdoa, atau melakukan hal lain… kecuali hal itu dilarang (dalam Islam).”
Menteri Urusan Perempuan Indonesia Mutya Hatta mengatakan film ini penting dalam mendobrak tradisi yang sudah berusia berabad-abad. “Saya pikir ini adalah perbaikan dari mentalitas lama yang menindas perempuan,” kata Hatta. “Saya pikir orang-orang takut untuk membicarakannya secara terbuka, tapi saya pikir suatu saat kita harus membicarakannya.”
“Penyelenggara. Ahli media sosial. Komunikator umum. Sarjana bacon. Pelopor budaya pop yang bangga.”
More Stories
Para migran tinggal di pulau tropis terpencil: ‘Terkadang mereka merasa sedikit kesepian’
Pekan Film Indonesia di FNCC – Allgemeine Zeitung
Seorang binaragawan meninggal setelah mengalami kecelakaan menggunakan dumbel seberat 210 kg